Pelajaran Berharga Demokrasi dari Aksi ‘Tuntutan 17+8
- calendar_month Ming, 7 Sep 2025

Peserta aksi membawa poster dan bermain balon air saat mengikuti Aksi Piknik Nasional Rakyat di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/bar.
SEPUTARAN.COM, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespons desakan publik melalui gerakan “Tuntutan 17+8” dengan menetapkan enam poin keputusan strategis. “Kami mendengarkan aspirasi rakyat dan berkomitmen menindaklanjuti secara nyata,” ujar sumber DPR.
Salah satu keputusan signifikan adalah penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR mulai 31 Agustus 2025. Selain itu, DPR menetapkan moratorium kunjungan ke luar negeri, kecuali untuk urusan kenegaraan yang jelas dan terverifikasi. Langkah ini menandai keseriusan DPR dalam menyesuaikan fasilitas anggota dengan realitas kehidupan rakyat.
Dua isu utama yang menjadi sorotan publik—fasilitas perumahan dan perjalanan luar negeri—selama ini dianggap simbol kemewahan. Dengan keputusan ini, DPR memberi sinyal bahwa mereka mulai menutup kesenjangan antara fasilitas yang dinikmati dan harapan masyarakat.
Selain tunjangan perumahan, DPR juga memangkas fasilitas lain seperti biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, dan transportasi karena dinilai tidak esensial. “Keputusan ini harus menjadi tonggak akuntabilitas yang nyata, bukan sekadar formalitas,” jelas seorang pengamat politik.
Langkah yang dianggap paling signifikan adalah penonaktifan anggota DPR oleh partainya. Langkah ini menjadi benchmark menuju tatanan legislatif yang lebih transparan dan berintegritas. Untuk memperkuat partisipasi publik, DPR membuka mekanisme konsultasi melalui platform digital.
Langkah ini diharapkan bukan sekadar jargon reformasi, tetapi menjadi bagian dari perubahan yang konstruktif dan strategis. Masyarakat menuntut efisiensi anggaran, kualitas legislasi yang meningkat, dan wakil rakyat yang benar-benar mencerminkan suara konstituen.
Transparansi ini harus dapat dipantau langsung oleh publik setiap hari, bukan hanya melalui konferensi pers seremonial. Tanpa pengawasan berkelanjutan, keputusan DPR berisiko menjadi catatan kaki dalam sejarah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Situasi ini juga menarik perhatian internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amnesty International memantau langkah DPR. Keberhasilan respon ini dinilai dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai model demokrasi terbesar di dunia Muslim dan membuka peluang kerja sama internasional.
Pemerintah berencana mengadopsi kerangka digital untuk merespons tuntutan reformasi, termasuk pengembangan kanal “Suara Rakyat 2.0”. Platform e-Government ini akan mengintegrasikan aspirasi publik, isu strategis, dan program prioritas pemerintah secara holistik.
Sistem ini memanfaatkan analitik berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk memprioritaskan isu berdasarkan voting publik dan sentimen digital. Integrasi dengan sistem e-Government memungkinkan pelacakan status tuntutan secara real-time, dari pengajuan hingga penyelesaian.
Selain itu, pemerintah berencana menerapkan sistem smart policing dengan body cameras yang datanya disimpan dalam jaringan blockchain. “Teknologi ini menjamin bukti digital yang tidak dapat dimanipulasi dan memperkuat kepercayaan publik terhadap aparat,” jelas Dr. Eko Wahyuanto, dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta.
Tuntutan jangka panjang, seperti pengesahan UU Perampasan Aset, memerlukan pembentukan Task Force 17+8. Gugus tugas ini melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta. Mereka akan menyusun peta jalan berbasis indikator kinerja utama (KPI) yang dapat dipantau publik.
Pemerintah juga merencanakan program nasional demokrasi digital di sekolah dan kampus. Teknologi seperti virtual reality (VR) digunakan untuk simulasi dialog antara pemerintah dan rakyat. Langkah ini membantu generasi muda memahami demokrasi secara lebih interaktif dan membangun empati lintas perspektif.
Gerakan ini menjadi pengingat penting bagi demokrasi Indonesia. Bagi pemerintah, aspirasi rakyat harus didengar secara aktif dan tulus. Bagi masyarakat, gerakan ini menunjukkan bahwa partisipasi cerdas dan beretika dapat menyuarakan perubahan nyata.
Reformasi pelayanan publik harus dilakukan agar pemerintah mampu membaca kondisi masyarakat secara akurat. Sementara itu, pengawasan terhadap aparat penegak hukum harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keadilan ditegakkan.
Dalam ekosistem demokrasi yang sehat, rakyat bukan hanya pemilih, tetapi pengawas aktif. Pemerintah, sebagai pelayan publik, harus siap menjadi objek pemantauan terbuka dan bertanggung jawab.
- Penulis: Tim Seputaran