Hak Budget DPR Dipertanyakan, Bagaimana Masa Depan Demokrasi Indonesia
- calendar_month Sen, 8 Sep 2025

Ilustrasi - Rapat Kerja antara Komisi V DPR RI bersama Kementerian PU dan Kementerian/Lembaga mitra kerja Komisi V DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (4/9/2025). ANTARA/Aji Cakti.
SEPUTARAN.COM, Jakarta – Demokrasi Indonesia sedang memasuki persimpangan penting. Reformasi politik yang berlangsung lebih dari dua dekade memberi pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan. Salah satu pelajaran utamanya adalah demokrasi tidak boleh berhenti pada pemilu. Demokrasi harus hadir dalam setiap keputusan besar negara yang menyentuh kehidupan rakyat.
Dalam konteks itu, muncul gagasan untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem penganggaran negara. Selama ini, mekanisme penyusunan anggaran masih terjebak pada praktik lama yang elitis. Padahal, anggaran negara seharusnya menjadi instrumen publik yang terbuka, inklusif, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas.
Selama bertahun-tahun, DPR memegang hak budget sebagai bagian penting dari sistem politik. Secara teoritis, kewenangan itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Namun dalam praktik, hak budget seringkali menempatkan DPR pada posisi ganda: sebagai pengawas kebijakan sekaligus penentu alokasi anggaran.
Peran ganda tersebut memunculkan potensi konflik kepentingan. Fungsi pengawasan DPR melemah karena terikat pada kompromi politik. Proses penyusunan anggaran pun sering berlangsung tertutup, jauh dari aspirasi rakyat. Karena itu, muncul usulan agar hak budget DPR dihapus sebagai bagian dari reformasi demokrasi.
Langkah ini bukan pelemahan parlemen, melainkan cara untuk mengembalikan fokus DPR. “Tanpa terjebak dalam pembagian anggaran, DPR bisa lebih optimal menjalankan fungsi pengawasan dan penyambung aspirasi rakyat.”
Penghapusan hak budget DPR hanyalah satu sisi reformasi. Di sisi lain, Indonesia memerlukan paradigma baru berupa penganggaran partisipatif. Melalui mekanisme ini, pemerintah membangun dialog langsung dengan rakyat untuk menentukan prioritas anggaran.
Dalam sistem ini, masyarakat tidak lagi hanya menjadi objek kebijakan. Mereka berperan aktif sebagai subjek yang ikut menentukan arah pembangunan. Misalnya, saat pemerintah ingin membangun fasilitas kesehatan di daerah terpencil, warga setempat terlibat sejak awal. Dengan demikian, kebijakan benar-benar sesuai kebutuhan nyata mereka.
Konsep penganggaran partisipatif bukan hanya wacana. Model ini telah berhasil diterapkan di berbagai negara, salah satunya di Porto Alegre, Brasil. Sejak 1989, kota itu menggunakan forum musyawarah publik untuk menentukan anggaran. Hasilnya, pelayanan publik meningkat, ketimpangan sosial berkurang, dan kepercayaan warga terhadap pemerintah tumbuh pesat.
Keberhasilan tersebut menjadi inspirasi bagi Indonesia. Dengan menyesuaikan pada kondisi sosial dan budaya, penganggaran partisipatif bisa mendorong demokrasi yang lebih substantif.
Meski hak budget dihapus, DPR tetap memiliki peran penting. Justru, fungsi pengawasan mereka akan lebih strategis. DPR dapat memastikan dialog publik berjalan transparan dan akuntabel. Selain itu, DPR juga memastikan anggaran digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, bukan hasil transaksi politik.
Dengan begitu, hubungan antara pemerintah, DPR, dan rakyat bisa dibangun di atas kepercayaan. “Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang melibatkan rakyat dalam setiap tahap pengambilan keputusan.”
Penganggaran partisipatif membuka peluang besar untuk memperkuat kualitas demokrasi di negeri ini. Partisipasi publik dalam penyusunan anggaran akan menumbuhkan rasa memiliki, solidaritas sosial, dan kesadaran bersama.
Perubahan ini memang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, parlemen, dan masyarakat sipil. Namun, jika dijalankan dengan keberanian, reformasi ini akan membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih matang.
Pada akhirnya, menghapus hak budget DPR dan menggantinya dengan sistem partisipatif adalah langkah nyata untuk memastikan anggaran negara berpihak pada rakyat. “Saatnya demokrasi dipandang sebagai ruang kolaborasi, bukan sekadar perebutan kekuasaan.”
- Penulis: Tim Seputaran