Bangun Resistansi Lewat Algoritma: Strategi Aktivisme Media Sosial
- calendar_month Ming, 7 Sep 2025

BEM Unpad bersama koalisi masyarakat sipil menggelar aksi di halaman depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jumat (5/9/2025),. ANTARA/Asep Firmansyah/am.
SEPUTARAN.COM, Jakarta – Dalam sepekan terakhir, tagar #ResetIndonesia menjadi sorotan di berbagai platform media sosial. Masyarakat menggunakan tagar ini untuk menyuarakan keresahan mereka sekaligus menuntut perubahan tata kelola negara secara sistemik dan menyeluruh. “Kami ingin pemerintah mendengar suara rakyat dan memperbaiki tata kelola negara,” ujar seorang pengguna X.
Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba. Sebelumnya, masyarakat telah memobilisasi berbagai tagar, seperti #BubarkanDPR, menanggapi tunjangan, tindakan, dan pernyataan anggota dewan yang dinilai tidak empati terhadap kondisi sosial-ekonomi warga. Selain itu, muncul #PolisiPembunuh dan #JusticeforAffan sebagai bentuk kemarahan terhadap insiden kendaraan taktis Brimob yang melindas pengemudi ojol Affan Kurniawan.
Keresahan warga yang tidak direspons pejabat negara mendorong lahirnya #ResetIndonesia. Di sisi lain, tagar solidaritas seperti #WargaJagaWarga dan #SipilJagaSipil mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak disinformasi, marginalisasi, atau ajakan radikal. “Solidaritas horizontal menjadi kunci agar kita tetap aman dan terinformasi,” tulis seorang warganet.
Selain tagar kritis, muncul #BravePinkHeroGreen, terinspirasi dari warna hijab seorang demonstran dan warna ojol sebagai penghormatan kepada Affan. Warna ini menjadi simbol solidaritas dan identitas visual gerakan. “Warna ini menyatukan kita dalam perlawanan dan dukungan kepada korban,” kata pengguna Instagram.
Partisipasi masyarakat dalam gerakan digital ini tinggi, seiring tingginya basis pengguna media sosial di Indonesia. Aktivisme digital bukan sekadar tren; masyarakat memanfaatkan algoritma platform untuk membangun resistansi politik.
Algoritma media sosial memiliki dua sisi. Satu sisi berpihak kepada kelompok penguasa, yang menggunakan kampanye disinformasi dan polarisasi demi kepentingan politik. Ross Tapsell dari Australia National University menekankan bahwa elite mengorganisir kelimpahan informasi melalui buzzer dan influencer untuk menguatkan narasi mereka.
Namun, masyarakat sipil menempati sisi lain algoritma. Dalam aksi kali ini, warga menjadi aktor dominan mobilisasi digital, menuntut pejabat negara bertindak. Analisis Drone Emprit menunjukkan insiden Brimob melindas ojol dibicarakan 17 ribu kali dalam dua hari, dengan 97% interaksi menunjukkan sentimen negatif. Sebaliknya, gerakan #BravePinkHeroGreen mendapat 62% sentimen positif, menandai narasi tandingan mulai berkembang.
Dominasi masyarakat sipil tidak berhenti pada seruan protes. Mereka membangun resistansi melalui konten digital, termasuk menyebarkan informasi perlindungan hukum, kesehatan fisik, dan mental. Tagar #WargaJagaWarga dan #SipilJagaSipil muncul sebagai bentuk solidaritas horizontal, menjaga keselamatan publik di tengah gelombang demonstrasi.
Konten ini tersebar di Instagram Story, TikTok, Reels, YouTube, X, dan Facebook. Interaksi tinggi mendorong penyebaran pesan masif, termasuk aksi mendukung ojol. Cuitan panduan membeli makanan untuk ojol mendapat ribuan interaksi, membuktikan partisipasi masyarakat lintas geografis dan platform.
Masyarakat juga melawan disinformasi, termasuk ajakan demo palsu dan video deepfake figur warna gerakan. Konten sanggahan ini memperluas kesadaran masyarakat terhadap risiko kekerasan, kerusuhan, dan perpecahan. “Kita tidak bisa hanya diam saat informasi menyesatkan menyebar,” ujar seorang aktivis digital.
Menurut Merlyna Lim, ruang digital bukan alat tunggal dalam mendorong reformasi. Namun, masyarakat yang terampil memanfaatkan teknologi bisa menyeimbangkan kekuatan otoriter dengan perlawanan kelembagaan dan akar rumput.
Gerakan kolektif masyarakat menunjukkan hasil nyata. “17+8 Tuntutan Rakyat” berhasil memaksa DPR mengambil tindakan sesuai tenggat waktu gerakan sipil. Meski belum menyelesaikan semua masalah, perkembangan ini menjadi bukti kekuatan masyarakat dalam menuntut evaluasi tata kelola negara.
Konsistensi dan kolektivitas tetap menjadi kunci. Masyarakat Indonesia telah menunjukkan bahwa melalui media sosial dan mobilisasi digital, mereka bisa menjaga demokrasi dan memperjuangkan keadilan.
Tagar #ResetIndonesia dan gerakan digital yang muncul menegaskan satu hal: masyarakat sipil aktif, kritis, dan mampu membangun resistansi. Aktivisme ini memadukan solidaritas, teknologi, dan strategi komunikasi untuk menuntut perubahan nyata. Ke depan, dinamika politik Indonesia akan terus ditentukan oleh interaksi antara kekuasaan dan masyarakat yang semakin sadar digital.
- Penulis: Tim Seputaran