Mencari Ruang Hidup Warga di Tesso Nilo
- calendar_month Sen, 1 Sep 2025

Aparat nampak berjaga di desa kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). (Annisa Firdausi)
SEPUTARAN.COM, Pekanbaru – Pagi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dimulai dengan suasana sederhana, namun penuh kehidupan. Kabut tipis menempel di dedaunan, ayam berkokok bersahutan, dan denting piring terdengar dari dapur rumah-rumah kayu. Anak-anak berlarian menuju sekolah swadaya, sementara para ibu menyiangi kebun sawit keluarga.
Kehidupan di desa sekitar TNTN tampak normal, tetapi di balik rutinitas itu, tersimpan keresahan. Warga sadar rumah, kebun, bahkan sekolah anak-anak mereka berada di wilayah yang disebut negara sebagai kawasan konservasi. Tersimpan pertanyaan besar di hati mereka: “Sampai kapan kami bisa tinggal di sini?”
Sejumlah warga mengaku menempati kawasan TNTN sejak 1998 dan memiliki sertifikat hak milik (SHM). Dokumen ini dikeluarkan jauh sebelum TNTN ditetapkan sebagai calon taman nasional pada 2004. Namun, setelah status kawasan berubah, SHM seakan tidak berlaku lagi. Warga merasa diperlakukan tidak adil karena baru ditindak setelah puluhan tahun menetap di tanah mereka.
“Kalau dari dulu dilarang, kami tidak mungkin membangun. Sekarang semua sudah ada rumah, sekolah, bahkan masjid. Tiba-tiba kami disuruh keluar,” keluh seorang warga.
Menurut regulasi kehutanan, hutan konservasi seperti TNTN tidak boleh digarap. Aktivitas hanya diperbolehkan untuk penelitian, pendidikan, atau ekowisata dalam batas terbatas. Sebaliknya, hutan produksi masih bisa dimanfaatkan melalui perhutanan sosial (PS), termasuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan.
Namun dalam praktiknya, batas antara regulasi dan kenyataan kerap kabur. Warga yang sudah bercocok tanam lama merasa lebih dahulu hadir daripada regulasi, sementara negara datang belakangan dengan payung hukum yang kaku.
Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, Tesso Nilo sudah menyimpan potensi konflik. Klaim adat bertemu dengan izin perusahaan HPH dan HTI. Ketegangan ini memicu kerusakan ekologis dan ketegangan sosial.
Maladministrasi memperburuk keadaan. Operasi penertiban lebih banyak menyasar masyarakat lokal, sementara beberapa perusahaan perkebunan sawit tetap beroperasi meski berada di zona konservasi. Kritik muncul: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Enam desa kini berada dalam pusaran konflik: Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Lebih dari 25 ribu jiwa terdampak. Di Lubuk Kembang Bunga, tiga dusun dengan lebih dari 10 ribu penduduk memiliki sekolah dan rumah ibadah yang dibangun swadaya tanpa dukungan signifikan negara.
“Yang kami takutkan bukan hanya kehilangan rumah, tapi kehilangan masa depan. Kami tidak tahu ke mana harus pergi,” kata seorang tokoh masyarakat. Kehadiran aparat bersenjata menambah rasa cemas bagi warga yang selama ini hidup sederhana.
Solusi ideal harus menempuh dua jalur. Penegakan hukum kawasan konservasi harus tetap berjalan agar fungsi ekologis hutan tidak hilang. Di sisi lain, negara wajib memberi kepastian bagi masyarakat terdampak, misalnya melalui opsi legal perhutanan sosial.
Pendekatan partisipatif menjadi kunci. Warga perlu dilibatkan, bukan dimusuhi. Dengan begitu, fungsi konservasi dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan seiring. Konflik Tesso Nilo bukan sekadar soal siapa yang berhak atas tanah, tetapi bagaimana Indonesia memperlakukan rakyatnya saat menjaga hutan terakhir yang tersisa.
Jika tidak ada titik temu, Tesso Nilo akan terus menjadi simbol taman nasional yang di atas kertas dilindungi, tetapi di lapangan selalu diperebutkan.
- Penulis: Tim Seputaran