Mesir dan Qatar Tegaskan Tolak Pemindahan Paksa Warga Palestina di Gaza
- calendar_month Jum, 29 Agu 2025

Sejumlah warga Palestina berebut makanan yang dibagikan di tempat pengungsian di Kota Gaza, Palestina, Minggu (24/8/2025). Krisis pangan yang terus melanda Gaza membuat anak-anak Palestina harus ikut berebut makanan untuk bertahan hidup. FOTO/Xinhua/Rizek Abdeljawad/bar
SEPUTARAN.COM, Kairo/Istanbul – Mesir dan Qatar menegaskan sikap tegas terhadap usulan pemindahan paksa rakyat Palestina. Dalam pertemuan di Kota Alamein Baru, pesisir Laut Tengah Mesir, Kamis (28/8), Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly dan Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman menyatakan penolakan penuh terhadap rencana itu.
Kedua pemimpin juga menekankan pentingnya koordinasi dengan Amerika Serikat untuk segera menghentikan perang di Gaza dan membuka akses bantuan kemanusiaan. “Kami menolak mutlak setiap upaya pemindahan paksa terhadap rakyat Palestina,” tegas keduanya dalam pernyataan resmi.
Selain menyerukan penghentian perang, Mesir tengah mendorong program rekonstruksi Gaza dengan nilai mencapai 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp871,5 triliun. Rencana lima tahun itu sudah diadopsi Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam sejak Maret lalu.
Program tersebut bertujuan membangun kembali Gaza tanpa harus memindahkan penduduknya. Namun, Israel dan Amerika Serikat menolak inisiatif tersebut.
Israel sebelumnya pernah mengajukan skenario pemindahan warga Palestina ke negara tetangga sebagai bagian dari rencana yang digagas Presiden AS Donald Trump. Usulan itu langsung ditolak Mesir, Yordania, serta sejumlah pihak regional.
Pertemuan antara Madbouly dan Mohammed berlangsung di tengah upaya internasional untuk menengahi gencatan senjata di Gaza. Pada 18 Agustus lalu, Hamas menyatakan menerima usulan gencatan dari mediator internasional.
Media Israel melaporkan bahwa usulan itu mirip dengan proposal utusan AS Steve Witkoff, yang mencakup pertukaran 10 sandera dan 18 jenazah dengan gencatan senjata selama 60 hari. Dalam rencana itu, Israel juga diminta menata ulang pasukan di dekat perbatasan agar distribusi bantuan lebih mudah dilakukan.
Namun, Hamas menegaskan kesiapannya membebaskan seluruh sandera hanya jika perang dihentikan, pasukan Israel ditarik dari Gaza, dan tahanan Palestina dibebaskan. Israel memperkirakan masih ada 50 sandera di Gaza, dengan 20 orang di antaranya diyakini masih hidup.
Hingga kini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum merespons proposal terbaru gencatan senjata. Sebaliknya, ia memerintahkan militer mempercepat rencana pendudukan Kota Gaza. Sikap ini memicu peringatan internasional mengenai potensi bencana kemanusiaan.
Data terbaru mencatat sejak Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan hampir 63.000 warga Palestina di Gaza. Selain itu, ribuan orang mengalami kelaparan akibat hancurnya infrastruktur dan terputusnya akses bantuan.
Organisasi hak asasi manusia juga melaporkan lebih dari 10.800 warga Palestina masih ditahan di penjara-penjara Israel. Mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, hingga pengabaian perawatan medis.
Situasi di Gaza semakin menekan Israel di kancah internasional. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Gugatan tersebut diajukan terkait operasi militer besar-besaran yang meluluhlantakkan Gaza dan menyebabkan jatuhnya puluhan ribu korban jiwa.
- Penulis: Tim Seputaran
- Sumber: Antaranews.com