Minyak Jelantah Jadi Berkah: Dari Dapur Rakyat hingga Sayap Pesawat
- calendar_month Sen, 1 Sep 2025

Ibu-ibu yang membawa minyak jelantah mengantre untuk menjual minyaknya ke Bank Sampah Beo Asri Tegalreja, Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (28/8/2025). ANTARA/Putu Indah Savitri.
SEPUTARAN.COM, Cilacap, Jawa Tengah – “Jelantah menjadi rupiah! Cuan! Cuan! Cuan!” Seruan itu menggema di Kelurahan Tegalreja, Cilacap, meski hujan deras mengguyur kawasan tersebut. Ibu-ibu berseragam kuning berbaris rapi dengan botol minyak jelantah di pelukan, siap menyetorkannya ke Bank Sampah Beo Asri Tegalreja.
Para pengurus bank sampah menyambut nasabah dengan senyum hangat. Minyak jelantah yang dibawa masyarakat beragam bentuk, mulai dari botol bekas hingga galon besar. Yuni Krisgiyanti (38), pedagang gorengan, menjadi salah satu di antaranya. Ia datang membawa galon 5 liter berisi minyak bekas hasil menggoreng mendoan, sate, hingga lauk nasi kucing yang dijual setiap hari.
Setelah ditimbang, minyak jelantah milik Yuni tercatat seberat 3 kg. Dari hasil itu, ia mendapat Rp15 ribu. “Kalau dikumpulkan terus, lumayan juga buat tambahan,” ujarnya sambil tersenyum.
Inovasi pemanfaatan jelantah tak berhenti di bank sampah. Pertamina berhasil mengolah minyak bekas pakai menjadi bahan bakar pesawat atau avtur ramah lingkungan. Prestasi ini membuat Indonesia tercatat sebagai produsen pertama di Asia Tenggara yang memperoleh sertifikat internasional sustainability ISCC CORSIA berbahan baku Used Cooking Oil (UCO).
Momentum bersejarah terjadi pada 20 Agustus 2025, hanya tiga hari setelah perayaan HUT ke-80 RI. Maskapai Pelita Air sukses melakukan penerbangan perdana dengan avtur berbahan dasar minyak jelantah. Keberhasilan itu membuktikan keandalan inovasi anak bangsa sekaligus membuka peluang bisnis ekspor bagi Pertamina.
“Kalau sudah melihat hasil daripada SAF kita, pasti negara lain akan melirik (SAF) kita,” kata Komisaris Utama Pertamina, Mochammad Iriawan.
Demi memperkuat produksi, Pertamina menambah titik pengumpulan minyak jelantah di berbagai daerah. Saat ini, sudah ada 35 SPBU yang menampung jelantah masyarakat. Langkah ini mendukung replikasi keberhasilan Kilang Cilacap di dua lokasi lain, yaitu Kilang Dumai dan Kilang Balongan.
Program tersebut juga melibatkan banyak elemen masyarakat, dari ibu rumah tangga, pengelola restoran, hingga pelaku UMKM. Partisipasi akar rumput menjadi bukti bahwa transisi energi hijau bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau korporasi, melainkan gerakan bersama.
Salah satu sosok penting di balik gerakan ini adalah Sri Widowati (75), pensiunan pegawai BKKBN. Ia aktif mengedukasi warga tentang bahaya minyak jelantah yang dibuang sembarangan, seperti pencemaran tanah dan air, serta risiko banjir akibat saluran mampet.
Sri mengelola Bank Sampah Beo Asri yang kini memiliki lebih dari 2.000 nasabah. Meski harga beli minyak jelantah hanya Rp5 ribu per kg, langkah ini mampu mencegah masyarakat membuangnya sembarangan. Ia juga mengingatkan soal bahaya kesehatan dari penggunaan minyak goreng berulang kali.
“Mereka tuh pakai minyak kadang sampai hitam sekali. Itu kan untuk kesehatan kurang bagus. Sekarang dipakai sedikit-sedikit bisa dikumpulkan jadi uang,” ucap Sri.
Program bank sampah di Tegalreja membawa banyak manfaat. Warga bisa menambah penghasilan dari jelantah, lingkungan terhindar dari pencemaran, dan kesehatan masyarakat lebih terjaga. Selain itu, Pertamina mendapat dukungan masyarakat dalam mengembangkan bahan bakar pesawat ramah lingkungan.
Ke depan, harapan Sri sederhana namun penuh makna. Ia ingin manfaat yang dirasakan warga Tegalreja dapat menyebar luas ke seluruh Indonesia. Jika masyarakat kompak, minyak jelantah yang dulu dianggap limbah bisa menjadi sumber energi hijau sekaligus pundi-pundi rupiah.
- Penulis: Tim Seputaran